Ketika membahas masalah krisis iklim, terkadang hal ini hanya menjadi wacana yang terabaikan dalam implementasinya. Alasan bahwa isu ini hanya layak ditangani setelah masalah lain selesai adalah tidak dapat diterima. Penting untuk menyadari bahwa kelompok masyarakat yang paling terdampak oleh krisis iklim adalah mereka yang miskin dan rentan. Penduduk di wilayah pesisir Demak dan pulau-pulau terdepan di Indonesia telah mengalami dampak ekonomi yang signifikan akibat terendamnya tempat tinggal mereka. Oleh karena itu, penanganan krisis iklim harus menjadi prioritas utama karena melibatkan kepentingan jutaan orang yang rentan.
Dalam menghadapi krisis iklim saat ini, yang dibutuhkan adalah pendekatan yang berpihak pada kepentingan masyarakat, bukan dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi. Terkadang kita melihat situasi di mana pelaku bisnis juga berperan sebagai regulator. Salah satu contoh yang jelas adalah subsidi untuk mobil listrik pribadi yang hanya menguntungkan sebagian kecil orang. Seharusnya, fokus harus diberikan pada ekspansi dan elektrifikasi transportasi massal yang memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat.
Ketika krisis iklim dimanfaatkan semata-mata untuk keuntungan, prinsip keadilan sosial terabaikan. Yang dibutuhkan adalah kebijakan berdasarkan bukti dan fakta, bukan kebijakan yang didasarkan pada kolusi dan nepotisme. Selain itu, negara tidak dapat menyelesaikan masalah krisis iklim ini sendirian. Kolaborasi dan diplomasi dengan berbagai pihak, baik lokal maupun internasional, sangat diperlukan.
Perlu diingat bahwa tidak ada solusi tunggal yang dapat mengatasi krisis iklim di berbagai daerah. Pendekatan haruslah kontekstual, seperti membuat pakaian di penjahit, di mana tidak ada ukuran yang cocok untuk semua tetapi disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing. Sebagai contoh, dalam mengatasi masalah hutan, pendekatan yang digunakan harus melibatkan partisipasi masyarakat adat. Hak masyarakat adat untuk berbicara atas nama mereka sendiri harus diakui dan dihormati. Tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat harus dihentikan, dan mereka harus dilindungi, bukan dikejar.
Selama masa jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan telah memulai kolaborasi dengan komunitas lokal. Sebagai contoh, ada kolaborasi dengan komunitas Ciliwung Condet yang mengintegrasikan manusia sebagai bagian dari alam dengan menjaga ekosistem biologis di sepanjang sungai Ciliwung. Upaya ini tidak hanya mencakup pembangunan infrastruktur fisik untuk menjaga tepian sungai, tetapi juga melibatkan pengembangan ekosistem sosial.